SENI TARI

SENI TARI

Tari adalah ekspresi perasaan yang dituangkan dalam bentuk gerak anggota tubuh yang memiliki nilai estetis dan makna tertentu yang biasanya berirama dan diiringi musik. Dasar dari pemikirannya bahwa di dalam gerak tubuh akan kita dapatkan diri kita sendiri (jati diri) melalui efek yang kita ambil dari tindakan kita sebagai ungkapan perasaan yang diwujudkan. Setiap pola gerak dalam tari mencerminkan budaya/adat dari daerah asal. Keanekaragaman adat dan tari nusantara itulah merupakan kebudayaan tari nasional. Sehingga sampai saat ini menentukan bentuk tari Indonesia masih sulit dan muncul kebijakan bahwa semua puncak tari daerah adalah tari nasional.

A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TARI DI INDONESIA
Tari dikenal oleh masyarakat pada awalnya memiliki fungsi religius karena merupakan bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan, kemudian berkembang untuk upacara ceremonial dan saat ini banyak digunakan untuk sarana hiburan (entertinment). Menurut periodenya tari tumbuh dan berkembang tari di Indonesia terbagi dalam periode :
1. Prasejarah 
Memang sangat sulit mengetahui bagaimana bentuk dan jenis tarian pada masa itu, karena kurangnya bukti-bukti prasejarah. Meskipun demikian dugaan muncul dari catatan-catatan para arkeolog mengenai keberadaan tari pada masa prasejarah. Tari pada awalnya adalah ungkapan emosional ekspresif sebagai reaksi atas perasaan tertentu. Misalnya : (1) ketika mereka berhasil memperoleh binatang buruan, mereka akan melompat-lompat secara berkelompok untuk mengungkapkan kegembiraannya, kemudian dari gerakan-gerakan ini mengkristal secara alamiah dan berkesinambungan. (2) Upacara sebelum berburu dengan gerakan-gerakan bersama yang menirukan binatang, mengelilingi api unggun. Hal ini diyakini merupakan gerak dasar tari pada masa itu. 
2. Hindu-Budha
Pertama kalinya masyarakat Indonesia (Jawa) mengenal tulisan adalah pada zaman ini, karena kedatangan bangsa India membawa tradisi tulis untuk kepentingan perdagangan. Sejak itu pulalah tari bisa diidentifikasikan. Ditandai berdirinya kerajaan Hindhu di Jawa tahun 130 M ditemukan prasasti dan relief tari pada : relief candi-candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dari cerita Negarakertagama juga diketahui bahwa Raja Hayam Wuruk masa kecinya adalah penari dan pemain drama topeng yang baik. Pada masa inilah tari memiliki peran penting dalam kebudayaan Nusantara. Masa pra Hindu bisa dilihat dari bentuk tari Murwakala, Bedhaya Ketawang, tayub, Topeng Berutuk (Bali), Berburu (Nias), Sirompak (Sumatra Barat) yang semuanya merupakan jenis tarian ritual/pemujaan. Pada masa ini gerakan Tari bersumber pada estetika tari India disebut Natyasastra yang juga merupakan sumber tari gaya klasik. Dilihat dari sikap berdiri (sthana) Natyasastra ada 5 macam yaitu : 
Sama, kaki menapak dengan seluruh telapak kaki di lantai. 
Agratalasancara, jari kaki dilentikan ke atas, ibu jari lurus. 
Ancita, menapak pada bagian tumit diangkat dengan cepat diturunan. 
Kuncita, menapak pada jari-jari kaki. 
Udghattita, berdiri di atas telapak kaki bagian depan dengan tumit diangkat dan dengan cepat diturunkan.

Kemudian gerak kaki cari  ada beberapa macam yaitu : urdvajanucari yaitu tungkai ditekuk, lutut diangkat setinggi dada, suci cari, tungkai diangkat di atas lutut yang lain. Kemudian tema penciptaan berkembang pada peristiwa keluarga kerajaan terutama kepahlawanan raja, sarana penghormatan tamu dan untuk pertunjukan. Hasil karya yang masih utuh antara lain 
Kalangan istana (tari wong, topeng, bedhaya, golek, langendriyan) 
Kalangan rakyat (ronggeng, jatholan, angguk, kuda lumping) dimana semua memiliki aturan-aturan baku yang tidak boleh dilanggar (pamali).
Dan jenis tari tradisional yang masih menginduk pada ketentuan pakem tari dan telah dimodifikasi antara lain :
Tari Topeng : Cirebon, Priangan, Panji, Klana, Kencana ungu, Koncaran 
Tari wayang : Srimpi, Ekalaya, Gathotkaca, Jayanegara 
Tari rakyat : Blantek gaplek

Meskipun banyak pula tari ciptaan pada masa ini hilang tidak berbekas, terutama ketika mulai masuknya budaya Islam di Nusantara 
      3. Islam
Meskipun masa kebudayaan Islam melarang wujud seni pertunjukan, akan tetapi pada kenyataannya keterkaitan batin dan emosional dengan akar kebudayaan jawa kuno pra Hindu lebih kuat. Kondisi ini mengakibatkan seni pertunjukan di Indonesia (Jawa) tetap bisa berkembang dan hidup di meskipun tidak pesat seperti masa Hindu Buda. Penciptaan karya seni tari yang besar pada masa ini adalah Bedhaya yang diciptakan oleh Panembahan Senopati zaman Mataram Islam seratus tahun silam.
Sebelum penjajah hadir, penguasa pri bumi raja-raja, terutama Jawa dan Bali melegitimasikan kekuasaan dan pengaruhnya dengan patronase dan penyelenggaraan berbagai pertunjukan sebagai bagian dari upacara negara, agama atau kegiatan rekreasi dan hiburan semata. Melalui upacara spektakuler seperti gerebeg, sekaten, eka dasa rudra dan galungan para raja menunjukan kebesarannya. Melalui wacana konsep dewa-raja, ratu gung binathara, gelar kebesaran sayidin panata gama kalifatulah tanah Jawa, rakyat diyakini akan kekuasaan dan kebesaran penguasa. Masyarakat Jawa masa lalu terbagi dua kelompok para priyagung dan rakyat biasa (kawula alit).
Pada masa ini upacara-upacara besar yang diselenggarakan raja berubah fungsi dari sebuah ritual yang mengandung martabat menjadi hiburan yang lebih mementingkan gebyar wujud dari pada esensi isi. Memasuki abad ke 20 seiring dengan pergerakan nasional, terjadi demokratisasi dan komersialisasi. Seni pertunjukan yang semula dihayati sebagai ekspresi budaya perlahan-lahan berubah menjadi produk atau komoditas. Tontonan keraton yang semula merupakan klangenan kaum ningrat, diproduksi secara populer untuk rakyat biasa. Di Surakarta, Sunan Paku Buwana X membuka Taman Hiburan Sri Wedari dengan pertunjukan wayang orang yang main setiap malam. Masyarakat Surakarta dan sekitarnya (yang masih kuat berorientasi ke budaya Istana), menyambut pertunjukan Wayang Orang ini dengan gembira karena mereka bisa mengidenifikasikan dirinya dengan kaum priyayi dan bisa mengagumi kebesaran masa silam, raja dan rakyat memiliki perasaan yang sama dalam menghadapi penjajah Belanda. Di Yogyakarta dengan restu Sultan perkumpulan tari Krida Beksa Wirama didirikan tahun 1918 dan sejak itu tarian keraton boleh diajarkan kepada rakyat banyak. Upaya meneguhkan legetimasi kekuasaan raja tetap dilakukan  dengan patronase pertunjukan gamelan, tari dan wayang, selama memerintah (1921-1939), Sultan Hamengkubuwana VII mementaskan 11 lakon wayang orang. Beberapa diantaranya didukung oleh 300-400 seniman dan mengambil waktu 3-4 hari dari pukul 06.00 sampai 23.00. 
4. Feodal
Masuknya Portugis dari semenanjung Malaka tahun 1551 dan Belanda dari Banten membawa pengaruh tersendiri bagi seni tari di Indonesia. Secara tidak langsung mereka memperkenalkan kebudayaan tari Eropa pada acara-acara pesta bangsawan, pertemuan pejabat-pejabat penting VOC yang kemudian memberi pengaruh pada bentuk koreografi tari di Indonesia terutama pada pola lantai yang mulai beragam dan bervariasi. Menjelang kemerdekaan, semasa angkatan Pujangga Baru, intelektual dan seniman Indonesia menghadapi dilema, apakah akan mengembangkan budaya Indonesia mengikuti model Barat yang menekankan pentingnya individualisme dan kreativitas atau model Timur yang memfokus wacana kepada kesadaran kelompok dan perfeksi teknik. Berbeda dengan modernisasi seni sastra, musik dan seni rupa yang mengacu pada model Barat, modernisasi tari dilakukan bertolak dari tari lokal. Balet, misalnya di Indonesia tidak pernah diterima sebagai dasar pengembangan tari secara nasional. Hadirnya pemerintah Hindia Belanda di satu pihak menyengsarakan rakyat, di lain pihak memungkinkan seniman Jawa dan Bali memperkenalkan keseniannya kepada bangsa lain. Rombongan kesenian (gamelan) Jawa pertama ke luar negeri diberangkatkan tahun 1893 untuk mempromosikan hasil perkebunan (teh dan kopi Jawa) ke ekspo kolonial di Chicago, Amerika Serikat. Tidak aneh, jika sampai sekarang masyarakat Amerika dan Eropa menyebut kopi dengan istilah “Java”. Dari Bali, rombongan ke luar negeri bersejarah dikirim ke Exposisi Paris pada tahun 1926, diantaranya menampilkan tari Bagong-Rangda yang disaksikan oleh tokoh pembaharu teater Perancis kenamaan Antonin Artaud. Antonin Artaud terpukau menyaksikan pertarungan Barong-Rangda.
Pertemuan seniman tari Indonesia dengan kelompok tari modern pertama dari Amerika Serikat adalah tahun 1925. Pada saat itu rombongan Ruth St Dnis (dengan Martha Graham sebagai salah seorang penari) mengadakan pertunjukan di Jakarta. Bisa dimengerti jika pada pertemuan pertam ini interaksi terjadi berat sebelah, seniman-seniman tradisi kita lebih banyak memasok sehingga Ruth St denis mendapat ilham penciptaan beberapa karya. Karya-karya Orientalis tersebut antara lain Batik Vendor, Javanes Dancer dan Balinese Dancer. 
5. Modern
Ditandai setelah kemerdekaam bangsa Indonesia 17 Agustus 1945 memberi peluang besar terhadap tumbuhnya tari di Indonesia. Perhatian Presiden Soekarno terhadap hasil seni budaya Nusantara sangat hebat karena ada larangan-larangan untuk mengimpor jenis seni dari budaya Eropa yang dianggap tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Setiap even kenegaraan harus dimunculkan tari-tarian tradisional. Tokohnya adalah R. Tjetje Soemantri dan R.S. Wirahadikusuma sebagai koreografer. Kebijakan Presiden Sorkarno ini membuat perkembangan tari tradisional dan kreasi baru semakin pesat di Indonesia.
Pada masa ini orientasi penciptanya pun bergesar dari fungsi ritual, penghormatan menjadi sebuah bentuk pengungkapan ekspresional pribadi koreografernya. Sehingga pada masa sekarang kita kenal tari kreasi baru yang lepas dari aturan-aturan baku (pakem) tari,  lebih ekspresif. Tokohnya seperti Bagong Kusudiarjo, Nungki Kusumastuti.
Wacana budaya pada awal kemerdekaan Indonesia adalah menggalang persatuan dan kesatuan bangsa. Kepribadian nasional menjadi isu penting untuk mempersatukan rakyat Indonesia yang berlatar budaya berbeda-beda. Kebudayaan dan kesenian nasional penting tetapi konservasi warisan budaya dan identitas daerah juga perlu. Dilema ini selalu menyertai perkembangan tari Indonesia. Lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan (1950), pemerintah mendirikan Konservatori Karawitan (Kokar yang kemudian menjadi SMKI) di Surakarta, Jawa Tengah. Sekolah menengah kesenian serupa menyusul didirikan di Denpasar, Bandung, Padangpanjang, Makasar, Surabaya. Sekolah-sekolah ini mengajarkan berbagai bentuk seni tari, musik, pedalangan dan teater daerah dari wilayah dimana sekolah-sekolah tersebut didirikan. Dari nama yang dipilih, “konsevatori” menunjukan bahwa perhatian pemerintah terfokus pada konservasi seni tradisi.
Tahun 1955 rombongan tari modern dari Amerika Serikat (Martha Graham) mengadakan pertunjukan di Jakarta. Dua tahun setelah kunjungan Martha Graham tiga seniman tari muda Indonesia : Bagong Kusudiarjo, Wisnu Wardhana, dan Setiarti Kailola berangkat ke AS untuk mengikuti festival tari musim panas di Connecticut College dan belajar tari modern dari Martha Graham di New York. Setiarti dari Jakarta berlatar belakang ballet, tetapi Bagong dan Wisnu keduanya penari klasik Jawa-Yogyakarta yang andal. Dari ketiganya yang bertahan dan terus berkarya adalah Bagong Kussudiardjo. Salah satu sebabnya adalah Bagong piawai memadukan bahan-bahan tradisi dari Jawa, Sunda Bali dimana ketiganya banyak puncak-puncak kesenian daerah. Karya-karya epik Bagong adalah Diponegoro, Jayakarta, Gadjah Mada yang memadu elemen-elemen budaya daerah dan bersemangat nasionalis serasi dengan wacana budaya pemerintah yang mencari kesenian nasional yang dapat diterima oleh masyarakat luas. Karya-karya Bagong saat ini dikenal masyarakat luas sebagai tari kreasi baru.
Tahun 1961, Departemen Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata (PDPTP) mengambil prakarsa mengadakan pertujukan kolosal Sendratari Ramayana Prambanan (SRP). Sementara R.T. Kusumokesowo mantan abdi dalem keraton Surakarta dan pengajar tari klasik Jawa di Kokar Surakarta dalam berkarya menekankan orientasi kelompok dan lebih menuntut perfeksi teknik sesuai kaidah tradisi. Perlu dicatat, pemarakarsa Sendratari Ramyana Prambanan adalah Letjen Djatikusuma yang juga mentri PDPTP dan salah seorang putra Sunan PB X. Penari, pemain gamelan, penyanyi koor SRP adalah siswa-siswi Kokar Solo, KONRI (Yogya), serta murid-murid privat para empu tersebut. Penari masal dilatih dari anak-anak muda sekitar Prambanan. SRP dipentaskan rutin setiap malam purnama selama lima bulan setahun dan enam kali/lakon setiap bulannya. Pada masa ini SRP menjadi tempat belajar yang menarik bagi penari-penari muda yang kemudian menjadi tokoh penari, penata tari, dan pemikir tari Indonesia seperti Sardono W. Kusumo, Retno Maruti, Sal Mugiono, dan Sulistyo S. Tirtokusuma. Genre baru “Sendratari” diterima dengan baik oleh masyarakat dan menjadi sajian seni wisata yang populer. Dalam tempo singkat sendratari tersebar ke Jawa Timur (Wilwatikta di Pandaan) dan Denpasar Bali. Bentuk sendratari yang begitu populer di Bali berakibat menjadi acara utama dalam Pekan Kesenian Bali yang berlangsung setiap tahun.
Tahun 1963, pemerintah membuka perguruan tinggi seni tari yang pertama yaitu Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta yang kemudian disusul dengan sekolah tinggi serupa di Denpasar, Bandung, Surakarta, Padangpanjang dan Surabaya. Pada waktu yang bersamaan beberapa pengajar dari sekolah-sekolah tinggi tersebut dikirim belajar dan mengajar ke Amerika Serikat untuk memperluas wawasan dan pendidikan. Akibatnya, kecuali melestarikan berbagai bentuk seni pertunjukan tradisi, di perguruan tinggi seni dikembangkan pula penulisan, penelitian dan penciptyaan karya baru. Di Surakarta pada paruh kedua dekade 1960-an pemerintah Orde Baru mendirikan Pusat Kesenian Jawa Tengah (PKJT) yang bertugas menggali dan merevitalisasi berbagai bentuk seni tradisi, repertoar tari klasik, gendhing-gendhing ageng, naskah-naskah lakon, pengetahun dan praktik pedalangan dsb. Untuk kurun waktu yang cukup lama (1968-1983), STSI dan PKJT dipimpim oleh Drs. Sedyono (Gendon Humardani) yang memiliki pengalaman dan wawasan kesenian yang luas. Maka yang terjadi kemudian bukan saja penggalian dan pelestarian berbagai bentuk seni pertunjukan lama tetapi juga revitalisasi seni tradisi dan penciptaan karya-karya baru dengan bahan tradisi tetapi berorientasi  masa kini. Dua tokoh tari yang muncul pada awal pemerintahan Orde Baru adalah Sardono W. Kusumo dan Retno Maruti, keduanya murid RT Kusumokesowo dan penari Ramayana Prambanan. Bersama Bagong tahun 1864 keduanya terpilih sebagai penari dalam misi kesenian pemerintah ke New York Word Fair. Kembali dari New York setahun kemudian, Sardono dan Maruti menetap di Jakarta dan aktif berkarya di Pusat Kesenian Jakarta “Taman Ismail Marzuki” (TIM) yang dibuka Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin tahun 1968. Sebuah tonggak penting bagi perkembangan seni tari, wayang dan gamelan terjadi di Jakarta. Sardono melatih sensivitas dan mengeksplorasi gerak secara kreatif melalui improvivisasi, Sardono ingin memodernisasikan tari tradisi dengna menginterprestasikannya kembali secara kreatif. Metoda kreatif inilah yang kemudian dilanjutkan Sardono dalam proses penciptaannya bersama penari-penari Jawa yang menghasilkan Samgita I-XII dan kemudian dilaksanakan di Bali (Cak Rina dan Dongeng dari Dirah) dan pedalaman Kalimantan Timur (Hutan Plastik, Hutan yang merintih) dan karya-karya kontemporer lainnya. Ketika para pemain penari panca Murti bergabung dalam WO Bharata, Retno Maruti mendirikan kelompok tari nya Padneswara. Sementara Maruti setia kepada bentuk dan nilai keindahan tradisi Jawa Sardono menjelajah berbagai budaya daerah menciptakannya kembali dengan interpretasi pribadi.
Tahun 1978-1987 Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Festival Penata Tari Muda yang bukan saja diikuti penata tari dari Jawa dan Bali tetapi juga dari Sumatera, Sulawesi dan daerah lain seperti Gusmiati Suid, Tom Ibnu, Deddy Luthan, Wiwiek Sipala, Nurdin Daud dan Marzuki Hasan. Sebuah tonggak penting yang lain. Dua forum tari penting dalam dekade terakhir abad ke-20 adalah Indonesia Dance Festival (IDF) yang diselenggarakan bersama Institut Kesenian Jakarta, Yayasan Kesenian Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta. IDF memunculkan penata-penata tari muda sperti Boi G. Sakti, Sukarji Sriman, Mugiono, Ketut Rina, M. Miroto dan Eko Supriyanto. Kedua, forum Art Summit Indonesia (1995 dan 1998) yang bukan hanya menampilkan karya-karya tari kontemporer Indonesia tetapi juga karya musik muthakir yang bertolak dari gamelan (R. Supanggah, Suka Hardjana, Suwita Radya) yang diselenggaarakan oleh Departemen pendidikan dan kebudayaan

B. JENIS DAN BENTUK TARI
Jenis dan bentuk tari terbagi menjadi 2 jenis yaitu : 
1. TradisionalTari tradisional menurut jenisnya terbagi menjadi 2 keluarga besar yaitu :
a.Tari Klasik yang bersumber dari tatanan dan aturan kerajaan yang dalam proses penciptaan, penyajian memiliki aturan (pakem) yang tidak boleh dilanggar siapapun. Oleh karena itulah bentuk tari tradisional klasik sampai saat ini masih dapat dipertahankan keasliannya, dan orisinilitasnya. Suasana sakral pada tari Klasik masih terasa sangat kuat, contohnya : bedhaya, Srimpi, Gambiranom. Setelah terjadi peralihan kekuasaan dari sistem kerajaan menjadi republik tari-tari ini sudah dapat dinikmati oleh masyarakat umum yang tentu saja melalui event-event tertentu di kerajaan dan tidak sembarangan dipertunjukan karena masih kuatnya pengaruh mistis pada masyarakat Jawa. Sehingga tidak sembarangan orang bisa mempertunjukan tari-tari tradisi klasik pada kegiatan umum.
b. Tari rakyat. Tari ini lahir, hidup, tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sumber inspirasinya dari bentuk-bentuk peristiwa adat/daerah tertentu, legenda atau perilaku binatang contoh : kuda lumping, angguk, lengger, tayuban. Tari jenis ini tidak memiliki larangan-larangan tertentu, memiliki fungsi sebagai hiburan semata. Iringannya tidak selalu menggunakan gamelan. Fungsinya sebagai pelestarian kehidupan bermasyarakat, garapannya sederhana, pelakunya adalah anggota masyarakat yang tidak profesional di bidang seni karena bertujuan untuk menunjukan semangat kolektivitas sosialnya. 
2. Modern
Tari modern konsep geraknya berkiblat dari Barat terbagi menjadi dua jenis yaitu 
a. Kreasi baru; masih menggunakan gerak-ferak tradisional yang kemudian dimodifikasi 
b. Kontemporer; sudah lepas dari bentuk-bentuk gerak tradisional dan berkiblat pada gerak-gerak tari spontanitas dan      ekspresionos lebih mengarah pada gerak teaterikal 
Berdasarkan pelakunya bentuk  terbagi menjadi : 
a. Tunggal (anjasmara) 
b. Berpasangan (merak karonsih)
c. Kelompok (gabyong, bedaya, srimpi) 
d. Masal (kreasi baru), selain itu tari juga dapat digunakan dalam teater (dramatari, wayang wong).

Ada beberapa ciri khas untuk teknik penguasaan gerak dalam seni tari tradisional yang merupakan manifestasi kepribadiak yang juga merupakan landasan atau falsafah hidup orang Jawa, meliputi 
a. Semangat batin : yang memberi kekuatan gerak, daya tahan, kemantapan ekspresi (greget) karena berpijak pada pemikiran bahwa raga ini yang menguasai adalah batin. Jika batin tenang dan bersih maka raga yang digerakan juga akan terlihat bersih dan luwes.
b. Sadar Harga Diri: perasaan ini sangat penting karena dapat mempengaruhi sifat kewibawaan dan keagungan dalam pembawaan gerak, atau istilah mudahnya adalah percaya diri. Sehingga penampilan akan terasa sangat pasti, berisi dan tegas.
c. Kemanunggalan lahir batin : sebagai pemusatan kendali ekspresi pribadi yang bulat. Adanya kesamaan atara raga dan jiwa. Penjiwaan yang terlahir secara total. 
d. Kemantapan dan kekokohan; tidak akan tergoyahkan sedikitpun karena gangguan dari luar.

Adapun cara pelatihan raga untuk mencapai ketentuan sikap gerak di atas bisa dilakukan dengan cara
a. Pengembangan rongga dada untuk menunjukan kesiapan fisik dan memudahkan pernafasan.
b. Perut di kempiskan selama menari sebagai sarana untuk menunjang pernapasan dada dan membetuk tubuh yang ramping
c. Tulang rusuk diangkar ke atas; sebagai sarana untuk menunjukan kegagahan dan kepastian.
d. Tulang belakang tegak; merupakan sikap poros tubuh yang benar dan keseimbangan.
e. Tulang belikat direntangkan; sikap kekokohan (kuda-kuda)
f. Napas ajeg sebagai bentuk ketenangan dan pendukung penguasaan gerak.

C. POLA LANTAI
Pola lantai (Floor Design) adalah garis imajinatif di atas lantai pentas yang menata membentuk formasi/alur gerak. Pola lantai terbagi menjadi 2 pola garis yaitu pola garis lurus yang mengesankan kekuatan tapi sederhana biasanya dipakai dalam tari klasik (horisontal, vertikal diagonal, T. V) dan pola lantai melengkung yang mengesankan kelembutan biasanya digunakan dalam tari rakyat tradisional (lengkung, ular, lingkar, spiral) dan kemudian berkembang muncul pola-pola kombinasi yang sering digunakan dalam tari dramatik (lengkung 8, todak beraturan, balancing, selang-seling)
D. MUSIKALITAS 
Seni tari tidak bisa lepas dari unsur musikal, karena selain berfungsi sebagai pengiring gerak, musik juga merupakan penuntun gerak. Musik dalam arti luas adalah media penghubung penghayatan luar (fisik) dengan dalam (psikis). Sehingga konsep dasar dalam tari tradisional Jawa dikenal wiraga, wirama dan wirasa. Konsep ini pada intinya merupakan pengindraan yang mengacu pada penguasaan panca indera, estetika, kesusilaan,kesucian religius, kebanggaan, kehormatan dan kemanusian.

E. PENGHAYATAN ESTETIKA
Penghayatan estetika dapat dilatih melalui kecintaan terhada nilai-nilai keindahan yang merupakan sikap luhur di dalam bathin dan moralitas artistic merupakan kesucian kesenimanan yang bersifat pribadi terhadap karya seni. Dari penghayatan estetik ini akan lahir moralitas artistik atau kesucian seniman sebagai nilai individu yang bersifat pribadi, sehingga akan menentukan kinerja kesenimannnya. Artinya seorang seniman tari harus memiliki moral yang baik yang hanya dapat tumbuh sebagai pengalaman pribadi melalui disiplin yang ketat dalam berlatih tari dan menempa diri dalam mengapresiasikan karya seni.

Komentar